Contoh Teks Eksemplum dan Struktur Teksnya
Menjadi Diri Sendiri
Dulu, aku selalu merasa bahwa pendapatku selalu benar. Jika orang
mengatakan apa yang kulakukan itu salah, aku selalu merasa tetap benar. Aku
pikir, aku ingin melakukan semua hal dengan caraku sendiri. Sikapku yang
demikian tersebut muncul setelah aku mendengar kata-kata mutiara dan terobsesi
pada kata-kata tersebut. Kata-kata mutiara yang mengobsesi diriku berbunyi
”jadilah dirimu sendiri”. Tapi ternyata hal yang aku perbuat tidak selalu
benar. Aku tersadar, bahwa aku pun sama dengan orang pada umumnya. Aku juga
membutuhkan saran dan pendapat miik orang lain.
Namaku Chaca. Umurku tujuh tahun. Sejak dulu aku selalu ingin memiliki
kucing. Kucing adalah binatang yang paling aku suka. Aku juga mempunyai kucing
impian di dalam benakku sejak lama. Kucing impianku itu merupakan kucing aggora
berwarna dua warna. Warnanya merupakan kombinasi dari warna putih bersih dan
hitam mengkilap, matanya bundar, besar, dan jernih, serta berwarna hitam
mengkilap. Selain itu, kucing impianku juga memiliki ekor yang panjang. Aku
bahkan sudah mempunyai nama untuk kucing impianku tersebut. Yaitu Pompom. Tidak
hanya itu, aku juga sudah bertekad, bahwa saat sudah besar nanti aku akan membeli
kucing yang persis dengan kucing impian di benakku dan kuberi nama yang sama,
yaitu Pompom.
Sampai pada akhirnya, aku berubah pikiran. Aku memutuskan untuk membeli
seekor kucing sekarang juga. Tapi aku tidak punya cukup uang untuk membeli
kucing. Aku pun merengek pada Ibu agar membelikanku seekor kucing. Tetapi Ibu
tidak menuruti keinginanku. Ibu bilang aku masih belum bisa merawat hewan. Aku
protes pada Ibu. Aku merasa bahwa aku sudah bisa merawat binatang. Akhirnya Ibu
mau menuruti keinginanku. Asalkan aku mau berjanji untuk merawatnya baik-baik.
Aku bersorak senang mendengarnya. Kami berdua pun pergi ke pet shop. Disana aku
melihat anak kucing anggora yang persis dengan Pompom di benakku. Aku pun
memutuskan untuk membelinya. Tentu saja, aku menamainya Pompom. Di sekolah aku
bercerita pada teman-temanku mengenai Pompom. Aku membangga-banggakannya dan
membuat teman-temanku iri.
Tiap hari aku memberi Pompom makan satu mangkuk makanan kucing, sesuai
dengan prosedur makanan kucing tersebut. Menurutku, memberi makan kucing adalah
hal yang paling menyenangkan. Pompom selalu bersemangat untuk makan. Sampai
pada akhirnya aku iseng mencoba memberi makan Pompom lebih banyak menjadi 1 ½
mangkuk. Pompom makan dengan lahap. Melihatnya, aku menjadi berpikir bahwa Pompom
akan merasa semakin senang jika diberi makan lebih banyak. Semakin banyak akan
semakin bagus. Begitu yang kupikirkan. Esoknya, aku memberi Pompom dua kali
lipat lebih banyak dari biasanya. Pompom tetap makan dengan semangat. Ibu
melihatnya dan memarahiku. Kata ibu, aku harus memberinya makan sesuai dengan
prosedur. Aku tidak terima karena aku yakin caraku sudah benar. Aku pun
melarang Ibu untuk menyentuh Pompom sedikitpun.
Awalnya, semua
baik-baik saja. Akan tetapi Pompom mulai memuntahkan isi perutnya di
kandangnya. Kotorannya
juga semakin banyak. Aku pikir itu hal yang normal. Masalahnya kandang Pompom
menjadi sangat kotor dan bau. Aku pun membersihkannya dan membawanya kembali. Ketika Ibu melihatnya, ia berkomentar melontarkan pendapatnya. Ia bilang kandang
itu belum cukup bersih. Ia
mau membantuku membersihkannya. Tapi karena aku pikir ini sudah cukup. Aku merasa kesal dan mengatakan bahwa aku tidak membutuhkan saran maupun
bantuan Ibu dengan setengah membentak.
Hari-hari terus berlalu. Pompom terlihat semakin kusut dan tidak sehat.
Tapi aku kira Pompom baik-baik saja. Aku malah mengira bahwa Pompom ingin makan
lebih banyak. Aku pun menambah porsi makannya. Tetapi Pompom tidak
menghabiskannya dan menumpahkan makanan kucing tersebut hingga mengotori kandangnya.
Ketika melihatnya, Ibu terus mengatakan bahwa Pompom sedang tidak sehat
sehingga aku harus lebih menjaga kebersihan kandangnya dan mengurangi makannya.
Lagi-lagi aku tidak mempercayainya. Meskipun bukan hanya Ibu saja yang berkata
begitu. Teman-temanku sempat datang ke rumahku. Mereka ingin melihat Pompom.
Aku pun mempersilahkannya. Saat melihatnya, mereka mengatakan bahwa Pompom
terlihat sangat menyedihkan. Aku kesal dan menyuruh mereka pulang.
Beberapa hari kemudian aku mencium bau busuk dari kandang Pompom. Setelah
kulihat lebih dekat, aku merasa sangat terkejut. Pompom tidak bergerak sedikit
pun. Aku menangis bercampur panik. Aku memanggil ibu dengan napas tersengal.
Ibuku pun memeriksanya dan mengatakan bahwa Pompom telah tiada. Kami berdua pun
menguburnya di halaman depan. Aku menangis tersedu-sedu melihatnya. Kini aku
sudah tidak punya kucing lagi.
Di sekolah, gosip tentang kucingku yang mati karena tidak terawat pun
tersebar dengan cepat. Aku merasa sangat malu. Anak-anak nakal yang suka mengejek
melihat sinis ke arahku. Beberapa bahkan mengolok-olokku sebagai penyiksa
kucing yang tidak berdosa. Aku mendengar teman-temanku bergosip tentangku juga.
Mereka tidak menyadari keberadaanku. Beberapa dari mereka yang sempat
mengunjungi Pompom mengatakan bahwa Pompom terlihat sangat menyedihkan.
Perkataannya disambut dengan ekspresi kasihan dari yang lain. Bahkan ada yang
sampai menutup mulutnya dengan tangan. Beberapa mengatakan bahwa diriku sangat
sadis.
Hatiku terluka. Aku berlari ke kamar mandi sambil terisak-isak. Aku tidak
percaya bahwa teman-temanku ikut bergosip tentangku. Sepulang sekolah aku
bercerita pada Ibu tentang apa yang telah terjadi sambil menangis. Ibu membelai
kepalaku dengan lembut. Ia menghiburku dan menasehatiku agar lain kali aku mau
mendengarkan nasehat, saran, atau pendapat dari orang lain. Karena tidak semua
yang kulakukan itu selalu benar. Aku pun mengangguk sambil masih sesegukan dan
berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Aku meminta maaf pada Ibu karena tidak
mendengarkannya dan membentaknya. Ibu pun memaafkanku dengan senang hati. Ia
senang karena akhirnya aku sadar atas kesalahanku.
Tidak ada manusia yang sempurna dan tidak pernah berbuat salah. Semua orang
pasti pernah berbuat salah. Pendapat diri kita pun juga tidak selalu benar dan
juga bisa salah. Karena itu, kita harus menghormati pendapat orang lain. Jika
ada yang memberi saran, alangkah baiknya jika kita mendengarkannya dan
mempertimbangkan saran tersebut. Bisa jadi saran yang kita dapatkan tersebut
membuahkan sesuatu yang baik.
Struktur teks:
STRUKTUR TEKS
|
TEKS
|
Abstrak
|
Dulu, aku selalu merasa bahwa
pendapatku selalu benar. Jika orang mengatakan apa yang kulakukan itu salah,
aku selalu merasa tetap benar. Aku pikir, aku ingin melakukan semua hal
dengan caraku sendiri. Sikapku yang demikian tersebut muncul setelah aku
mendengar kata-kata mutiara dan terobsesi pada kata-kata tersebut. Kata-kata
mutiara yang mengobsesi diriku berbunyi ”jadilah dirimu sendiri”. Tapi
ternyata hal yang aku perbuat tidak selalu benar. Aku tersadar, bahwa aku pun
sama dengan orang pada umumnya. Aku juga membutuhkan saran dan pendapat miik
orang lain.
|
Orientasi
|
Namaku Chaca. Umurku tujuh tahun.
Sejak dulu aku selalu ingin memiliki kucing. Kucing adalah binatang yang
paling aku suka. Aku juga mempunyai kucing impian di dalam benakku sejak
lama. Kucing impianku itu merupakan kucing aggora berwarna dua warna.
Warnanya merupakan kombinasi dari warna putih bersih dan hitam mengkilap,
matanya bundar, besar, dan jernih, serta berwarna hitam mengkilap. Selain
itu, kucing impianku juga memiliki ekor yang panjang. Aku bahkan sudah
mempunyai nama untuk kucing impianku tersebut. Yaitu Pompom. Tidak hanya itu,
aku juga sudah bertekad, bahwa saat sudah besar nanti aku akan membeli kucing
yang persis dengan kucing impian di benakku dan kuberi nama yang sama, yaitu
Pompom.
Sampai pada akhirnya, aku berubah
pikiran. Aku memutuskan untuk membeli seekor kucing sekarang juga. Tapi aku
tidak punya cukup uang untuk membeli kucing. Aku pun merengek pada Ibu agar
membelikanku seekor kucing. Tetapi Ibu tidak menuruti keinginanku. Ibu bilang
aku masih belum bisa merawat hewan. Aku protes pada Ibu. Aku merasa bahwa aku
sudah bisa merawat binatang. Akhirnya Ibu mau menuruti keinginanku. Asalkan
aku mau berjanji untuk merawatnya baik-baik. Aku bersorak senang
mendengarnya. Kami berdua pun pergi ke pet shop. Disana aku melihat anak
kucing anggora yang persis dengan Pompom di benakku. Aku pun memutuskan untuk
membelinya. Tentu saja, aku menamainya Pompom. Di sekolah aku bercerita pada
teman-temanku mengenai Pompom. Aku membangga-banggakannya dan membuat
teman-temanku iri.
|
Insiden
|
Tiap hari aku memberi Pompom makan
satu mangkuk makanan kucing, sesuai dengan prosedur makanan kucing tersebut.
Menurutku, memberi makan kucing adalah hal yang paling menyenangkan. Pompom
selalu bersemangat untuk makan. Sampai pada akhirnya aku iseng mencoba
memberi makan Pompom lebih banyak menjadi 1 ½ mangkuk. Pompom makan dengan
lahap. Melihatnya, aku menjadi berpikir bahwa Pompom akan merasa semakin
senang jika diberi makan lebih banyak. Semakin banyak akan semakin bagus.
Begitu yang kupikirkan. Esoknya, aku memberi Pompom dua kali lipat lebih
banyak dari biasanya. Pompom tetap makan dengan semangat. Ibu melihatnya dan
memarahiku. Kata ibu, aku harus memberinya makan sesuai dengan prosedur. Aku
tidak terima karena aku yakin caraku sudah benar. Aku pun melarang Ibu untuk
menyentuh Pompom sedikitpun.
Awalnya, semua baik-baik saja. Akan tetapi Pompom mulai memuntahkan isi perutnya di
kandangnya. Kotorannya
juga semakin banyak. Aku pikir itu hal yang normal. Masalahnya kandang Pompom
menjadi sangat kotor dan bau. Aku pun membersihkannya dan membawanya kembali.
Ketika Ibu melihatnya, ia berkomentar melontarkan pendapatnya.
Ia bilang kandang itu belum cukup bersih. Ia mau membantuku membersihkannya.
Tapi karena aku pikir ini sudah cukup. Aku merasa kesal
dan mengatakan bahwa aku tidak membutuhkan saran maupun bantuan Ibu dengan
setengah membentak.
Hari-hari terus berlalu. Pompom
terlihat semakin kusut dan tidak sehat. Tapi aku kira Pompom baik-baik saja.
Aku malah mengira bahwa Pompom ingin makan lebih banyak. Aku pun menambah
porsi makannya. Tetapi Pompom tidak menghabiskannya dan menumpahkan makanan
kucing tersebut hingga mengotori kandangnya. Ketika melihatnya, Ibu terus
mengatakan bahwa Pompom sedang tidak sehat sehingga aku harus lebih menjaga
kebersihan kandangnya dan mengurangi makannya. Lagi-lagi aku tidak
mempercayainya. Meskipun bukan hanya Ibu saja yang berkata begitu.
Teman-temanku sempat datang ke rumahku. Mereka ingin melihat Pompom. Aku pun
mempersilahkannya. Saat melihatnya, mereka mengatakan bahwa Pompom terlihat
sangat menyedihkan. Aku kesal dan menyuruh mereka pulang.
Beberapa hari kemudian aku mencium
bau busuk dari kandang Pompom. Setelah kulihat lebih dekat, aku merasa sangat
terkejut. Pompom tidak bergerak sedikit pun. Aku menangis bercampur panik.
Aku memanggil ibu dengan napas tersengal. Ibuku pun memeriksanya dan
mengatakan bahwa Pompom telah tiada. Kami berdua pun menguburnya di halaman
depan. Aku menangis tersedu-sedu melihatnya. Kini aku sudah tidak punya
kucing lagi.
|
Interpretasi
|
Di sekolah, gosip tentang kucingku
yang mati karena tidak terawat pun tersebar dengan cepat. Aku merasa sangat
malu. Anak-anak nakal yang suka mengejek melihat sinis ke arahku. Beberapa
bahkan mengolok-olokku sebagai penyiksa kucing yang tidak berdosa. Aku
mendengar teman-temanku bergosip tentangku juga. Mereka tidak menyadari
keberadaanku. Beberapa dari mereka yang sempat mengunjungi Pompom mengatakan
bahwa Pompom terlihat sangat menyedihkan. Perkataannya disambut dengan
ekspresi kasihan dari yang lain. Bahkan ada yang sampai menutup mulutnya
dengan tangan. Beberapa mengatakan bahwa diriku sangat sadis.
Hatiku terluka. Aku berlari ke kamar
mandi sambil terisak-isak. Aku tidak percaya bahwa teman-temanku ikut
bergosip tentangku. Sepulang sekolah aku bercerita pada Ibu tentang apa yang
telah terjadi sambil menangis. Ibu membelai kepalaku dengan lembut. Ia
menghiburku dan menasehatiku agar lain kali aku mau mendengarkan nasehat,
saran, atau pendapat dari orang lain. Karena tidak semua yang kulakukan itu
selalu benar. Aku pun mengangguk sambil masih sesegukan dan berjanji untuk
tidak mengulanginya lagi. Aku meminta maaf pada Ibu karena tidak
mendengarkannya dan membentaknya. Ibu pun memaafkanku dengan senang hati. Ia
senang karena akhirnya aku sadar atas kesalahanku.
|
Koda
|
Tidak ada manusia yang sempurna dan
tidak pernah berbuat salah. Semua orang pasti pernah berbuat salah. Pendapat
diri kita pun juga tidak selalu benar dan juga bisa salah. Karena itu, kita
harus menghormati pendapat orang lain. Jika ada yang memberi saran, alangkah
baiknya jika kita mendengarkannya dan mempertimbangkan saran tersebut. Bisa
jadi saran yang kita dapatkan tersebut membuahkan sesuatu yang baik.
|
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar